2013/04/16

Aku dan Masa Orientasi Siswa

Post by Ardhia Wirasti Farisda di 19.21




            Langit kelabu itu mulai tampak, dengan perlahan menenggelamkan matahari yang sebelumnya berdiri kokoh bak raja di langit biru sana. Dinda mengetuk-ngetukan jarinya di atas meja, bosan. Terlihat dari wajahnya yang begitu murung. Ia bingung, mengapa dalam memilih calon untuk mendampingi adik kelas yang akan melaksanakan Masa Orientasi Siswa harus seperti ini. Melakukan berbagai macam kegiatan, seleksi dan sedikit pemanasan batin yang dilakukan kakak kelas agar siap mental dalam menghadapi para adik kelas yang sifatnya pahit, asam bahkan manis. Berlebihan kan? Ia menyesal, seharusnya dari awal ia tak perlu repot-repot mengikuti acara ini. Sangat menyita jam tidur dan mainnya, mengingat acara ini dilakukan pada waktu liburan semester. Lenyap sudah harapannya untuk menghabiskan waktu liburan di kasurnya yang empuk, semenjak sang Ketua OSIS menyebut namanya ketika ia mengumumkan siapa saja yang lolos seleksi menjadi panitia MOS. Satu kata yang terlintas difikirannya... Gawat!

            “Terima kasih atas partisipasi kalian yang telah meluangkan sedikit waktunya untuk acara ini, semoga penyuluhan yang kami berikan dapat menambah mental dan wawasan kalian, para panitia MOS di tahun ajaran yang baru ini. Sekian dari saya, Wassalamualaikum Wr. Wb.” Lalu disambut tepuk tangan tak ikhlas dari para panitia MOS termasuk Dinda.
“Apa katanya? Sedikit waktu? Parah. Gak punya jam kali ya si Ketos itu!” Dinda berjalan keluar ruangan sambil menggerutu kesal “Delapan jam loh, delapan jam!” Ia mengacungkan ke delapan jarinya ke wajah Ana, teman sekelas sekaligus teman sesama panitianya.
“Udah lah, dibawa seneng aja Din. Lagi pula senin besok kita udah bisa langsung praktik kan?” Ana mengedipkan sebelah matannya, lalu menyunggingkan senyuman genit yang menjijikan. Dinda tau apa yang dimaksud praktik oleh temannya itu. Haduh, dasar ABG.
“Ih, bocah ingusan mau kamu jadiin gebetan juga An? Kayak gak ada yang lain aja deh.”
“Eh, jangan salah Din! Kamu belum tau sih kalau angkatan sekarang itu banyak yang keren! Aku udah punya target loh, hehe.”
“Kayak tinju aja ada targetnya segala.” Dinda mempercepat langkahnya, meninggalkan Ana yang sedang berfantasi dengan calon targetnya itu. Ah masa bodoh lah, yang terpenting dia bisa cepat pulang dan melanjutkan tidurnya yang tertunda tadi pagi.

*****

            Cahaya jingga mulai terbentang dari ufuk timur, memberikan suasana tenang dibalik hiruk pikuk manusia yang akan mengawali aktifitasnya, terutama Dinda. “Apa yang harus dibawa ya?” Gumamnya sambil terus menguap lebar. Padahal sudah mandi dan shalat, tapi tetap saja rasa kantuk itu menyerang dirinya. Dinda memang tak pernah puas kalau soal tidur, ckck.
“Mah, ayo anterin adek. Udah siap nih!” Dinda mengambil kaus kakinya di laci. Hari ini ia terlihat lebih rapi, sengaja Dinda lakukan agar kesannya terlihat baik di mata adik kelas. Dan ini juga salah satu tuntutan pekerjaan sebagai seorang panitia MOS. Lebay ya?

            Cukup 15 menit untuk sampai ke sekolah. Dan hal pertama yang ia lihat di sekolahnya adalah ramai! Banyak ibu-ibu dan teman sebayannya yang berlalu lalang di wilayah sekolah karena tidak dibolehkan masuk oleh Pak Satpam, karena memang yang diperbolehkan masuk hanya para peserta MOS dan petugasnya. Dinda jadi ingat setahun yang lalu saat ia di-MOS oleh kakak kelasnya. Wah, gak kerasa ya udah setahun di SMP ini! Kikik Dinda dalam hati.
“Heh turun, malah bengong! Hari pertama jadi panitia jangan telat dong!”
“Hehe, oke! Doain ya Mah, mudah-mudahan hari ini lancar.”
“Iya, udah sana gih masuk! Mama mau ke pasar nih!”
“Huh dasar! Ya udah, hati-hati! Assalamualaikum!” Dinda langsung menerobos keramaian dan minta izin masuk kepada Pak Satpam. Setelah diperbolehkan masuk Dinda langsung bergegas ke ruang panitia untuk mengambil segala keperluan nge-MOS dan tak lupa menutupi nama yang tertera di bajunya dengan double-tape, kalau ini sih tradisi SMP-nya ketika MOS.
“Kebiasaan deh telat! Taukan ini tuh-”
“Hari pertama kita jadi panitia. Gak usah diingetin! Aku masih inget!” Huh mulai deh cerewetnya Ana kumat! Rutuk Dinda dalam hati. “Oh iya, kita dapet gugus berapa?” Lanjutnya, tidak menghiraukan gerutuan Ana.
“Kita gak segugus Din. Tapi kita tetanggaan kok!”
“Yah, berarti kita bareng senior dong! Gak seru ah!”
“Gak apa-apa lah, yang penting hari ini kita bisa ketemu sama adik kelas keren itu hehe”
“Kita? Lo aja kali gue mah ogah!” Lagi-lagi Dinda tidak menghiraukan gerutuan Ana yang kesal oleh sikapnya, langsung saja ia melenggang pergi menuju gugusnya.

*****

            Ini pertama kalinya untuk Dinda, nge-MOS adik-adik yang notabenenya baru aja keluar dari sekolah dasar adalah hal yang sulit. Pada malu-malu kucing. Sedangkan dia punya tanggung jawab untuk memberikan pandangan atau dasar untuk menentukan sikap para adik gugusnya. Ditambah lagi, kita semua gak ada yang saling mengenal. Itu mengakibatkan suasananya menjadi kaku dan canggung. “Perkenalan udah, pembacaan kegiatan udah, pembacaan tata krama udah juga. Aduh, ngapain lagi ya?” Ia terlihat berpikir, sejurus kemudian satu ide di otaknya. “Ah! Kita main! Setuju?” Semuanya diam. Percuma deh, kali ini kayaknya Dinda yang harus lebih agresif. “Diam berarti setuju ya? Oke sekarang 6 orang barisan belakang maju, kita baris-berbaris di depan. Yang salah berdiri dan dihukum ya? Hehehe.”
“Yaah, jangan dihukum dong kak!”
“Gak mau ah kak..”
“Takut kak..”
“Main yang lain aja lah kak..”
“Jangan pake hukuman dong kak..”
Dasar, giliran ada hukumannya langsung pada buka suara. Dari tadi kek! “Udah, kali ini harus nurut. Lagian, hukumannya gak berat kok. Kan kita sambil main, oke?” Dan akhirnya, semuanya mengangguk setuju.

            Tak terasa, hari sudah siang. Ternyata, adik gugus Dinda tak separah yang Dinda pikirkan. Adik-adiknya lumayan penurut, bisa diajak becanda pula, paling ada beberapa yang masih kaku. Step by step, kan?
“Eh? Kalian lagi ngapain?” 
“Kak Endah dari mana aja? Aku jadi sendirian terus dari tadi.” Kak Endah, seniornya. Seharusnya ia ikut menemani Dinda mengurus gugus.
“Kakak tadi lagi gurusin yang lain bareng panitia yang kelas 9, jadi gak bisa bantuin kamu disini. Gak apa-apa kan? Lagian keliatannya semua udah pada enjoy sama kamu Din.”
“Iya nih alhamdulillah, ya udah kalau emang sibuk sih gak apa-apa Kak.”
“Oke deh, Kakak tinggal lagi ya. Semuanya! Harus pada nurut sama Kak Dinda ya!” Pekik Kak Endah sambil melayangkan ibu jarinya ke atas.
“Oke Kak!” Sahut semuanya serempak. Ternyata, nge-MOS gak seburuk yang Dinda bayangkan. Asik juga...

*****

Tak ada lantunan lain lagi yang beriak malam ini, semua terdengar senyap seolah membiarkan penuh binatang-binatang malam bersinar di bawah rembulan itu. Dan tidak terasa, besok adalah hari terakhir Dinda menjadi panitia MOS. Harusnya ia senang karena tanggung jawabnya sebagai panitia sudah selesai, tapi kenapa sekarang dia malah merasa sedih ya? Tiba-tiba saja handphonenya berdering, ternyata ada sms masuk dari Ana. Dia bertanya pada Dinda tentang alat musik apa yang akan ia bawa besok. “Aku aja gak tau apa yang bakal aku bawa, huh.” Ia sengaja tidak membalas sms dari Ana, karena bisa panjang ceritanya kalau bersms ria dengan Ana. Lebih baik Dinda melakukan hobinya malam ini. Tidur di kasurnya yang empuk.
*****

“Selamat pagi semua!” Sapa Dinda dan Kak Endah. Karena ini hari terakhir, jadi Kak Endah ikut menemani Dinda nge-MOS adik-adik gugusnya. Kak Endah langsung mengambil alih bicara di depan. “Masing-masing udah pada bawa alat musik kan?”
“Bawa kaaaaak!” Seru semuanya antusias.
“Oke kalau begitu kita-”
“Haloooooo!” Tiba-tiba Ana dan Kak Dineu dari gugus sebelah menyeruak masuk bersama beberapa anak gugusnya yang lain.
“Wah ada apa nih tetangga sebelah mampir kesini?” Tanya Kak Endah.
“Maaf ya Kak Endah dan Kak Dinda, kita mau ganggu sebentar. Adik-adik dari gugus kita ada yang mau nyanyi nih!” Ucap Kak Dineu riang.
“Oh gitu, sok atuh nyanyi! Semuanya, perhatikan yang di depan ya!” Seru Kak Endah, Dinda yang sedari tadi duduk kini tengah berdiri menghampiri Ana yang ada di dekat pintu. Menyaksikan anak-anak gugus Ana yang hendak bernyanyi.
“Kita mau nyayiin lagunya Bondan yang judulnya Ya Sudahlah. Ikut nyanyi bareng kita ya!” Pimpin seorang cowok yang badannya gak terlalu tinggi dan mukannya imut khas anak SD. “Satu, dua, tiga!”
Ketika mimpimu, tak begitu indah
Tak pernah terwujud, ya sudahlah
Saat kau berlari, menggenggam anganmu
Dan tak pernah sampai, ya sudahlah
Wo wo wooo, apapun yang terjadi
Ku kan slalu ada untukmu
Janganlah kau bersedih
Cause everything it’s gonna be okay yeah yeaaaah
Semua anak langsung berdiri, ada yang joget-joget gak jelas, ada yang mukul-mukul meja, ada juga yang ikut nyanyi bareng. Dinda sampai geleng-geleng kepala karena si Ana ikut nyanyi sambil loncat-loncatan kayak orang kurang waras bareng anak-anak gugusnya di depan. Dinda jadi tertarik untuk ikut gak waras juga bareng Ana dan yang lainnya. Hahaha! Hari terakhir yang menyenangkan! Dinda berbatin.

Waktu sudah menunjukan pukul 11 siang. Inilah saat yang ditunggu-tunggu Dinda dan Kak Endah. Mereka menyuruh semua anak-anak gugusnya untuk memberikan kesan dan pesan selama MOS ini. Dan ternyata dilakukan dengan semangat oleh para adik gugusnya.
Sesudah dikumpulkan, mereka segera membacanya. Dan itu membuat mereka berdua terkikik. Ada yang nulisnya gak jelas, ada yang curhat pnjang lebar, ada yang nulis secukupnya aja, bahkan ada juga yang nulis gombalan aneh bin lebay buat Dinda dan Kak Endah. Haduh, anak jaman sekarang hebat-hebat ya?
“Dinda! Dinda!” Seru Ana di depan pintu.
Alis Dinda naik dengan raut wajah seperti kebingungan. “Udah kesini dulu! Ada yang mau ngasih surat nih!” Kali ini alis Ana yang naik turun sambil cengengesan gak jelas. Karena Dinda masih aja gak berkutik, akhirnya Ana masuk tanpa permisi dan menarik lengan Dinda secara paksa.
“Ih, mau ngapain sih An?”
“Ayo ikuuuut, anak gugus aku ada yang suka sama kamu Din!” Mata Dinda tiba-tiba melotot. Apa? Suka? Gumam Dinda gak yakin.
Ternyata yang suka sama Dinda itu anak cowok yang tadi mimpin nyanyi! Lagi-lagi Dinda gak yakin.
“Ini buat Kak Dinda. Dibaca ya!” Anak cowok itu langsung cengengesan. Imut sih, tapi tetep aja gak boleh suka! Dia masih kecil, inget masih kecil! Gumam Dinda mengingatkan dirinya sendiri.
Ana menyenggol-nyenggol siku Dinda dengan gemas. “Ambil tuh! Jangan bengong mulu..” Ucap Ana sambil tertawa. “Grogi dia dek, maklumin aja ya hehehe.”
Dinda mencubit lengan Ana. Wajahnya memerah, dengan malu-malu Dinda meraih surat tersebut. “Mmm, makasih ya.”
“Ih kalian berdua lucu deh kalau jadian.”
“Kamu mau aku getok pake sepatu An?” Muka Dinda berubah jadi menyeramkan.
“Gitu aja marah.” Sahut Ana seraya mencolek dagu Dinda.
“ANAAAA!!!”

*****

            Panas matahari menyeruak masuk melewati celah-celah jendela kelas Dinda. Cerah. Di lapangan sudah banyak anak-anak berbaju baru berkeliaran kesana kemari. Ia kembali mengkhayal waktu pertama kali ia pergi ke kantin bersama teman-teman barunya. Matanya kagum melihat makanan yang berjejer sana sini, maklum di SD-nya dulu jarang ada yang kayak begini.
“Din ikut yuk!” Ana menghampiri Dinda yang sedang melamun di dekat jendela.
“Kemana An?”
“Ke kelas 7F. Ternyata gugus kita barengan loh kelasnya!”
“Kita? Gugus aku sama kamu barengan kelasnya?” Wajah Dinda memerah seketika. Ia jadi ingat kejadian kemarin.
“Udah ayo ikut! Aku udah kangen mereka nih!”

            Ana sedari tadi terlihat senang sekali, berbeda dengan Dinda yang sekarang malah kelihatan kaku. Dia agak risih kalau melihat si adik kelas yang kemarin memberikan surat padanya, ckck!
“Hei adek! Gimana kelas barunya? Seneng gak?” Tanya Ana ramah ketika sampai di depan pintu kelas 7F yang terbuka lebar.
“Seneng banget kak!” Jawab salah satu anak perempuan yang berbadan agak besar. Lalu mereka semua menghampiri kedua kakak gugusnya tersebut.
“Eh Bagas mana nih? Kakak kangen suara dia pas nyanyi nih!” Lanjut Ana lagi, lalu menarik tangan Dinda. “Kak Dinda juga kangen suara Bagas katanya!”
“Ih kapan ngomongnya coba? Ngarang deh!” Sungut Dinda enggak terima.
“Kak Dinda kangen suara aku?” Dinda terpekik kaget melihat Bagas yang tiba-tiba muncul di depannya.
“Ih enggak, Kak Ana ngibul tau!” Sergah Dinda. Anak-anak yang lain hanya berdeham-deham mencurigakan. Aduh, kenapa jadi begini sih? Gumam Dinda.
“An udah mau bel nih, ke kelas yuk!” Ajak Dinda, sebenarnya sih bukan karena mau bel, tapi karena dia udah malu banget berdiri di situ. “Ah lama deh, ya udah aku duluan!”
“Kak tunggu! Kau minta nomer Kak Dinda dong!” Pinta Bagas.
“Kakak gak punya handphone!” Sahutnya lalu pergi gitu aja.
Ana langsung tertawa pelan. “Bohong banget Gas! Tenang aja, nanti aku kasih tau nomernya Kak Dinda. Oke?” Ucapnya sambil menaik-turunkan alisnya dan di balas anggukan oleh Bagas, lalu pergi menyusul Dinda ke kelasnya.

*****

            Dinda terlihat sibuk sendiri di kamarnya, ia sangat antusias menyambut tahun ajaran baru. Dan diperkirakan besok kegiatan belajar mengajar sudah berjalan seperti biasa. Dinda udah kangen banget sama pelajaran yang udah dia tinggal selama dua minggu. Tapi kesenangan itu tiba-tiba lenyap ketika handphone Dinda berdering. Dahinya mengkerut. “Nomornya gak dikenal.” Sejurus kemudian Dinda mengangkat teleponnya. “Halo, assalamualaikum?”
“Assalamualaikum Kak Dinda!” Terdengar suara nyaring di seberang sana. Kayak pernah denger ini suara, tapi kapan ya? Gumam Dinda dalam hati.
“Ini siapa?” tanya Dinda hati-hati.
“Aku Bagas Kak!” Dinda terdiam. Seketika ia menjadi kaku.
“Halo--” Klik! Telepon dimatikan sepihak oleh Dinda. Perasaan Dinda tiba-tiba berubah jadi gak karuan. Ada apa sebenarnya dengan Dinda? Kenapa jadi begini? Dinda tersenyum sejenak lalu menyenderkan punggungnya ke kursi dekat meja belajarnya. Jangan-jangan Dinda...
“Ah, masa iya aku suka sama bocah itu?” Dinda terkikik pelan, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. Dari pada ia bingung dengan perasaannya sendiri, lebih baik ia mengakhiri malamnya yang aneh itu dengan tidur di kasurnya yang empuk.



FIN



0 komentar:

 

Evil Ardhia Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos