Langit
kelabu itu mulai tampak, dengan perlahan menenggelamkan matahari yang
sebelumnya berdiri kokoh bak raja di langit biru sana. Dinda mengetuk-ngetukan
jarinya di atas meja, bosan. Terlihat dari wajahnya yang begitu murung. Ia
bingung, mengapa dalam memilih calon untuk mendampingi adik kelas yang akan
melaksanakan Masa Orientasi Siswa harus seperti ini. Melakukan berbagai macam
kegiatan, seleksi dan sedikit pemanasan batin yang dilakukan
kakak kelas agar siap mental dalam menghadapi para adik kelas yang sifatnya
pahit, asam bahkan manis. Berlebihan kan? Ia menyesal, seharusnya dari awal ia
tak perlu repot-repot mengikuti acara ini. Sangat menyita jam tidur dan
mainnya, mengingat acara ini dilakukan pada waktu liburan semester. Lenyap
sudah harapannya untuk menghabiskan waktu liburan di kasurnya yang empuk,
semenjak sang Ketua OSIS menyebut namanya ketika ia mengumumkan siapa saja yang
lolos seleksi menjadi panitia MOS. Satu kata yang terlintas difikirannya...
Gawat!
“Terima kasih atas partisipasi
kalian yang telah meluangkan sedikit waktunya untuk acara ini, semoga
penyuluhan yang kami berikan dapat menambah mental dan wawasan kalian, para
panitia MOS di tahun ajaran yang baru ini. Sekian dari saya, Wassalamualaikum
Wr. Wb.” Lalu disambut tepuk tangan tak ikhlas dari para panitia MOS termasuk
Dinda.
“Apa katanya? Sedikit waktu? Parah. Gak punya jam kali ya si Ketos itu!”
Dinda berjalan keluar ruangan sambil menggerutu kesal “Delapan jam loh, delapan
jam!” Ia mengacungkan ke delapan jarinya ke wajah Ana, teman sekelas sekaligus
teman sesama panitianya.
“Udah lah, dibawa seneng aja Din. Lagi pula senin besok kita udah bisa
langsung praktik kan?” Ana mengedipkan sebelah matannya, lalu
menyunggingkan senyuman genit yang menjijikan. Dinda tau apa yang dimaksud
praktik oleh temannya itu. Haduh, dasar ABG.
“Ih, bocah ingusan mau kamu jadiin gebetan juga An? Kayak gak ada yang lain
aja deh.”
“Eh, jangan salah Din! Kamu belum tau sih kalau angkatan sekarang itu
banyak yang keren! Aku udah punya target loh, hehe.”
“Kayak tinju aja ada targetnya segala.” Dinda mempercepat langkahnya,
meninggalkan Ana yang sedang berfantasi dengan calon targetnya itu. Ah masa
bodoh lah, yang terpenting dia bisa cepat pulang dan melanjutkan tidurnya yang
tertunda tadi pagi.
*****
Cahaya jingga mulai
terbentang dari ufuk timur, memberikan suasana tenang dibalik hiruk pikuk
manusia yang akan mengawali aktifitasnya, terutama Dinda. “Apa yang harus
dibawa ya?” Gumamnya sambil terus menguap lebar. Padahal sudah mandi dan
shalat, tapi tetap saja rasa kantuk itu menyerang dirinya. Dinda memang tak
pernah puas kalau soal tidur, ckck.
“Mah, ayo anterin adek. Udah siap nih!” Dinda mengambil kaus kakinya di
laci. Hari ini ia terlihat lebih rapi, sengaja Dinda lakukan agar kesannya
terlihat baik di mata adik kelas. Dan ini juga salah satu tuntutan pekerjaan
sebagai seorang panitia MOS. Lebay ya?
Cukup 15 menit untuk sampai
ke sekolah. Dan hal pertama yang ia lihat di sekolahnya adalah ramai! Banyak
ibu-ibu dan teman sebayannya yang berlalu lalang di wilayah sekolah karena
tidak dibolehkan masuk oleh Pak Satpam, karena memang yang diperbolehkan masuk
hanya para peserta MOS dan petugasnya. Dinda jadi ingat setahun yang lalu saat
ia di-MOS oleh kakak kelasnya. Wah, gak kerasa ya udah setahun di SMP ini!
Kikik Dinda dalam hati.
“Heh turun, malah bengong! Hari pertama jadi panitia jangan telat dong!”
“Hehe, oke! Doain ya Mah, mudah-mudahan hari ini lancar.”
“Iya, udah sana gih masuk! Mama mau ke pasar nih!”
“Huh dasar! Ya udah, hati-hati! Assalamualaikum!” Dinda langsung menerobos
keramaian dan minta izin masuk kepada Pak Satpam. Setelah diperbolehkan masuk
Dinda langsung bergegas ke ruang panitia untuk mengambil segala keperluan
nge-MOS dan tak lupa menutupi nama yang tertera di bajunya dengan double-tape,
kalau ini sih tradisi SMP-nya ketika MOS.
“Kebiasaan deh telat! Taukan ini tuh-”
“Hari pertama kita jadi panitia. Gak usah diingetin! Aku masih inget!” Huh
mulai deh cerewetnya Ana kumat! Rutuk Dinda dalam hati. “Oh iya, kita dapet
gugus berapa?” Lanjutnya, tidak menghiraukan gerutuan Ana.
“Kita gak segugus Din. Tapi kita tetanggaan kok!”
“Yah, berarti kita bareng senior dong! Gak seru ah!”
“Gak apa-apa lah, yang penting hari ini kita bisa ketemu sama adik kelas
keren itu hehe”
“Kita? Lo aja kali gue mah ogah!” Lagi-lagi Dinda tidak menghiraukan
gerutuan Ana yang kesal oleh sikapnya, langsung saja ia melenggang pergi menuju
gugusnya.
*****
Ini pertama kalinya untuk
Dinda, nge-MOS adik-adik yang notabenenya baru aja keluar dari sekolah dasar
adalah hal yang sulit. Pada malu-malu kucing. Sedangkan dia punya tanggung
jawab untuk memberikan pandangan atau dasar untuk menentukan sikap para adik
gugusnya. Ditambah lagi, kita semua gak ada yang saling mengenal. Itu
mengakibatkan suasananya menjadi kaku dan canggung. “Perkenalan udah, pembacaan
kegiatan udah, pembacaan tata krama udah juga. Aduh, ngapain lagi ya?” Ia
terlihat berpikir, sejurus kemudian satu ide di otaknya. “Ah! Kita main!
Setuju?” Semuanya diam. Percuma deh, kali ini kayaknya Dinda yang harus lebih
agresif. “Diam berarti setuju ya? Oke sekarang 6 orang barisan belakang maju,
kita baris-berbaris di depan. Yang salah berdiri dan dihukum ya? Hehehe.”
“Yaah, jangan dihukum dong kak!”
“Gak mau ah kak..”
“Takut kak..”
“Main yang lain aja lah kak..”
“Jangan pake hukuman dong kak..”
Dasar, giliran ada hukumannya langsung pada buka suara. Dari tadi kek!
“Udah, kali ini harus nurut. Lagian, hukumannya gak berat kok. Kan kita sambil
main, oke?” Dan akhirnya, semuanya mengangguk setuju.
Tak terasa, hari sudah
siang. Ternyata, adik gugus Dinda tak separah yang Dinda pikirkan. Adik-adiknya
lumayan penurut, bisa diajak becanda pula, paling ada beberapa yang masih kaku.
Step by step, kan?
“Eh? Kalian lagi ngapain?”
“Kak Endah dari mana aja? Aku jadi sendirian terus dari tadi.” Kak Endah,
seniornya. Seharusnya ia ikut menemani Dinda mengurus gugus.
“Kakak tadi lagi gurusin yang lain bareng panitia yang kelas 9, jadi gak
bisa bantuin kamu disini. Gak apa-apa kan? Lagian keliatannya semua udah pada
enjoy sama kamu Din.”
“Iya nih alhamdulillah, ya udah kalau emang sibuk sih gak apa-apa Kak.”
“Oke deh, Kakak tinggal lagi ya. Semuanya! Harus pada nurut sama Kak Dinda
ya!” Pekik Kak Endah sambil melayangkan ibu jarinya ke atas.
“Oke Kak!” Sahut semuanya serempak. Ternyata, nge-MOS gak seburuk yang
Dinda bayangkan. Asik juga...
*****
Tak ada lantunan lain lagi yang beriak
malam ini, semua terdengar senyap seolah membiarkan penuh binatang-binatang
malam bersinar di bawah rembulan itu. Dan tidak terasa, besok adalah hari
terakhir Dinda menjadi panitia MOS. Harusnya ia senang karena tanggung jawabnya
sebagai panitia sudah selesai, tapi kenapa sekarang dia malah merasa sedih ya?
Tiba-tiba saja handphonenya berdering, ternyata ada sms masuk dari Ana. Dia
bertanya pada Dinda tentang alat musik apa yang akan ia bawa besok. “Aku aja
gak tau apa yang bakal aku bawa, huh.” Ia sengaja tidak membalas sms dari Ana,
karena bisa panjang ceritanya kalau bersms ria dengan Ana. Lebih baik Dinda
melakukan hobinya malam ini. Tidur di kasurnya yang empuk.
*****
“Selamat pagi semua!” Sapa Dinda dan Kak Endah. Karena ini hari terakhir,
jadi Kak Endah ikut menemani Dinda nge-MOS adik-adik gugusnya. Kak Endah
langsung mengambil alih bicara di depan. “Masing-masing udah pada bawa alat
musik kan?”
“Bawa kaaaaak!” Seru semuanya antusias.
“Oke kalau begitu kita-”
“Haloooooo!” Tiba-tiba Ana dan Kak Dineu dari gugus sebelah menyeruak masuk
bersama beberapa anak gugusnya yang lain.
“Wah ada apa nih tetangga sebelah mampir kesini?” Tanya Kak Endah.
“Maaf ya Kak Endah dan Kak Dinda, kita mau ganggu sebentar. Adik-adik dari
gugus kita ada yang mau nyanyi nih!” Ucap Kak Dineu riang.
“Oh gitu, sok atuh nyanyi! Semuanya, perhatikan yang di depan ya!” Seru Kak
Endah, Dinda yang sedari tadi duduk kini tengah berdiri menghampiri Ana yang
ada di dekat pintu. Menyaksikan anak-anak gugus Ana yang hendak bernyanyi.
“Kita mau nyayiin lagunya Bondan yang judulnya Ya Sudahlah. Ikut nyanyi
bareng kita ya!” Pimpin seorang cowok yang badannya gak terlalu tinggi dan
mukannya imut khas anak SD. “Satu, dua, tiga!”
Ketika mimpimu, tak begitu indah
Tak pernah terwujud, ya sudahlah
Saat kau berlari, menggenggam anganmu
Dan tak pernah sampai, ya sudahlah
Wo wo wooo, apapun yang terjadi
Ku kan slalu ada untukmu
Janganlah kau bersedih
Cause everything it’s gonna be okay yeah yeaaaah
Semua anak langsung berdiri, ada yang joget-joget gak jelas, ada yang
mukul-mukul meja, ada juga yang ikut nyanyi bareng. Dinda sampai geleng-geleng
kepala karena si Ana ikut nyanyi sambil loncat-loncatan kayak orang kurang
waras bareng anak-anak gugusnya di depan. Dinda jadi tertarik untuk ikut gak
waras juga bareng Ana dan yang lainnya. Hahaha! Hari terakhir yang
menyenangkan! Dinda berbatin.
Waktu sudah menunjukan pukul 11 siang. Inilah saat yang ditunggu-tunggu
Dinda dan Kak Endah. Mereka menyuruh semua anak-anak gugusnya untuk memberikan
kesan dan pesan selama MOS ini. Dan ternyata dilakukan dengan semangat oleh
para adik gugusnya.
Sesudah dikumpulkan, mereka segera membacanya. Dan itu membuat mereka
berdua terkikik. Ada yang nulisnya gak jelas, ada yang curhat pnjang lebar, ada
yang nulis secukupnya aja, bahkan ada juga yang nulis gombalan aneh bin lebay
buat Dinda dan Kak Endah. Haduh, anak jaman sekarang hebat-hebat ya?
“Dinda! Dinda!” Seru Ana di depan pintu.
Alis Dinda naik dengan raut wajah seperti kebingungan. “Udah kesini dulu!
Ada yang mau ngasih surat nih!” Kali ini alis Ana yang naik turun sambil
cengengesan gak jelas. Karena Dinda masih aja gak berkutik, akhirnya Ana masuk
tanpa permisi dan menarik lengan Dinda secara paksa.
“Ih, mau ngapain sih An?”
“Ayo ikuuuut, anak gugus aku ada yang suka sama kamu Din!” Mata Dinda
tiba-tiba melotot. Apa? Suka? Gumam Dinda gak yakin.
Ternyata yang suka sama Dinda itu anak cowok yang tadi mimpin nyanyi!
Lagi-lagi Dinda gak yakin.
“Ini buat Kak Dinda. Dibaca ya!” Anak cowok itu langsung cengengesan. Imut
sih, tapi tetep aja gak boleh suka! Dia masih kecil, inget masih kecil! Gumam
Dinda mengingatkan dirinya sendiri.
Ana menyenggol-nyenggol siku Dinda dengan gemas. “Ambil tuh! Jangan bengong
mulu..” Ucap Ana sambil tertawa. “Grogi dia dek, maklumin aja ya hehehe.”
Dinda mencubit lengan Ana. Wajahnya memerah, dengan malu-malu Dinda meraih
surat tersebut. “Mmm, makasih ya.”
“Ih kalian berdua lucu deh kalau jadian.”
“Kamu mau aku getok pake sepatu An?” Muka Dinda berubah jadi menyeramkan.
“Gitu aja marah.” Sahut Ana seraya mencolek dagu Dinda.
“ANAAAA!!!”
*****
Panas matahari menyeruak masuk
melewati celah-celah jendela kelas Dinda. Cerah. Di lapangan sudah banyak
anak-anak berbaju baru berkeliaran kesana kemari. Ia kembali
mengkhayal waktu pertama kali ia pergi ke kantin bersama teman-teman barunya.
Matanya kagum melihat makanan yang berjejer sana sini, maklum di SD-nya dulu
jarang ada yang kayak begini.
“Din ikut yuk!” Ana menghampiri Dinda yang sedang melamun di dekat jendela.
“Kemana An?”
“Ke kelas 7F. Ternyata gugus kita barengan loh kelasnya!”
“Kita? Gugus aku sama kamu barengan kelasnya?” Wajah Dinda memerah
seketika. Ia jadi ingat kejadian kemarin.
“Udah ayo ikut! Aku udah kangen mereka nih!”
Ana sedari tadi terlihat
senang sekali, berbeda dengan Dinda yang sekarang malah kelihatan kaku. Dia
agak risih kalau melihat si adik kelas yang kemarin memberikan surat padanya,
ckck!
“Hei adek! Gimana kelas barunya? Seneng gak?” Tanya Ana ramah ketika sampai
di depan pintu kelas 7F yang terbuka lebar.
“Seneng banget kak!” Jawab salah satu anak perempuan yang berbadan agak
besar. Lalu mereka semua menghampiri kedua kakak gugusnya tersebut.
“Eh Bagas mana nih? Kakak kangen suara dia pas nyanyi nih!” Lanjut Ana
lagi, lalu menarik tangan Dinda. “Kak Dinda juga kangen suara Bagas katanya!”
“Ih kapan ngomongnya coba? Ngarang deh!” Sungut Dinda enggak terima.
“Kak Dinda kangen suara aku?” Dinda terpekik kaget melihat Bagas yang
tiba-tiba muncul di depannya.
“Ih enggak, Kak Ana ngibul tau!” Sergah Dinda. Anak-anak yang lain hanya
berdeham-deham mencurigakan. Aduh, kenapa jadi begini sih? Gumam Dinda.
“An udah mau bel nih, ke kelas yuk!” Ajak Dinda, sebenarnya sih bukan
karena mau bel, tapi karena dia udah malu banget berdiri di situ. “Ah lama deh,
ya udah aku duluan!”
“Kak tunggu! Kau minta nomer Kak Dinda dong!” Pinta Bagas.
“Kakak gak punya handphone!” Sahutnya lalu pergi gitu aja.
Ana langsung tertawa pelan. “Bohong banget Gas! Tenang aja, nanti aku kasih
tau nomernya Kak Dinda. Oke?” Ucapnya sambil menaik-turunkan alisnya dan di
balas anggukan oleh Bagas, lalu pergi menyusul Dinda ke kelasnya.
*****
Dinda terlihat sibuk sendiri
di kamarnya, ia sangat antusias menyambut tahun ajaran baru. Dan diperkirakan
besok kegiatan belajar mengajar sudah berjalan seperti biasa. Dinda udah kangen
banget sama pelajaran yang udah dia tinggal selama dua minggu. Tapi kesenangan
itu tiba-tiba lenyap ketika handphone Dinda berdering. Dahinya mengkerut.
“Nomornya gak dikenal.” Sejurus kemudian Dinda mengangkat teleponnya. “Halo,
assalamualaikum?”
“Assalamualaikum Kak Dinda!” Terdengar suara nyaring di seberang sana.
Kayak pernah denger ini suara, tapi kapan ya? Gumam Dinda dalam hati.
“Ini siapa?” tanya Dinda hati-hati.
“Aku Bagas Kak!” Dinda terdiam. Seketika ia menjadi kaku.
“Halo--” Klik! Telepon dimatikan sepihak oleh Dinda.
Perasaan Dinda tiba-tiba berubah jadi gak karuan. Ada apa sebenarnya dengan
Dinda? Kenapa jadi begini? Dinda tersenyum sejenak lalu menyenderkan
punggungnya ke kursi dekat meja belajarnya. Jangan-jangan Dinda...
“Ah, masa iya aku suka sama bocah itu?” Dinda terkikik pelan, lalu
menggeleng-gelengkan kepalanya. Dari pada ia bingung dengan perasaannya
sendiri, lebih baik ia mengakhiri malamnya yang aneh itu dengan tidur di
kasurnya yang empuk.
FIN
0 komentar:
Posting Komentar